Categories
Telusur

Buruh Migran Indonesia: Diperlakukan seperti Binatang di Pusat Tahanan Sementara Malaysia

Trimurti.id, Bandung—“Kami diperlakukan seperti binatang. Setelah hukuman penjara selesai dan saat menunggu proses deportasi (kembali ke Indonesia, red),…malah kami diperlakukan seperti hewan.”

Umpatan itu meluncur dari mulut salah satu buruh migran Indonesia (namanya disamarkan sebagai XYZ) yang ditemui Tim Pencari Fakta dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB), pertengahan Juli 2020 lalu di Makassar.

Pada Juli-Juni 2020, KBMB mengirim Tim Pencari Fakta ke Makassar dan Pare-pare, Sulawesi Selatan, sesudah mengendus menderasnya arus deportasi buruh migran Indonesia dari perkebunan-perkebunan sawit di Sabah, negara bagian Malaysia yang terletak di bagian utara Kalimantan. Dari pencarian fakta ini KBMB menyimpulkan adanya perlakuan buruk, termasuk penyiksaan, terhadap para deportan oleh pemerintah Sabah, serta ketidaksiapan pemerintah Indonesia menghadapi gelombang deportasi tersebut.

KBMB telah melaporkan temuannya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Dalam konferensi pers daring (online) bersama Komnas HAM, pada 5 Agustus 2020, Musdalifah Jamal koordinator KBMB antara lain mendesak pemerintah Malaysia untuk menghentikan dan mencegah penyiksaan massal dan perlakuan kejam lainnya oleh negara Malaysia dan meminta pemerintah Indonesia untuk melindungi buruh buruh migran yang terdampak pandemi covid-19, termasuk membenahi proses pemulangan atau deportasi para buruh migran.

**

XYZ, salah seorang deportan yang ditemui Tim Pencari Fakta KBMB, selama ini bekerja sebagai buruh perkebunan sawit di Sabah, Malaysia. Dia kena tangkap petugas berwenang di Sabah, dianggap melakukan pelanggaran imigrasi, saat pemerintah Malaysia -di tengah penanganan pandemi Covid-19- memperketat pergerakan orang dan menggencarkan razia orang asing.

Setelah ditangkap dan diadili, sialnya XYZ tak segera diberangkatkan ke Indonesia. Proses pemulangan yang berlarut-larut membuatnya mendekam lebih lama di sebuah Pusat Tahanan Sementara (PTS) yang terletak di Tawau, ibukota negara bagian Sabah. Dan, di PTS inilah, dia menelan banyak perlakuan buruk yang tidak manusiawi.

Dari wawancara Tim Pencari Fakta terhadap XYZ dan 32 orang deportan lainnya, terungkap bahwa kondisi di TPS sangat tidak layak. Tempat tahanan demikian padat. Tahanan terpaksa tidur berhimpitan di lantai tanpa alas tidur dan rawan tertular Covid-19. Makanan yang disediakan tidak pernah cukup, itupun sering terlambat dan basi. Sanitasinya pun buruk, toilet kurang, dan tidak tersedia cukup sarana air bersih. Tidak mengherankan, hampir semua deportan menderita sakit kulit. TPS juga tidak menyediakan sarana kesehatan yang layak, padahal di antara para deportan terdapat pula ibu-ibu hamil dan anak-anak. Tim pencari fakta menemukan, di dalam TPS terdapat setidaknya lima anak-anak berusia antara 9 bulan hingga 4 tahun.

Lebih mengenaskan lagi, selama di TPS para deportan banyak mendapat perlakuan tidak manusiawi. Secara sewenang-wenang petugas TPS menyita barang-barang pribadi, memeras para tahanan, dan berlaku kasar termasuk melakukan penghukuman tanpa alasan. Deportan lainnya, namanya disamarkan sebagai ABC,  mengatakan sering terjadi penghukuman karena hal-hal sepele.

“Setiap jam enam pagi kami harus bangun. Ketua blok akan berteriak menyuruh kami segera berbaris dan berhitung. Satu baris masing-masing 10 orang. Kita harus mengucapkan selamat pagi cikgu (cik guru, panggilan untuk orang yang dihormati, [Red]), lalu penjaganya akan bilang: ‘tangan di belakang, kepala menunduk!’ Siapa yang melakukan kesalahan akan dipukul dan ditendang. Setiap dipukul kita harus bilang ‘terima kasih cikgu’. Kalau tidak kita akan terus dipukul. Jadi kami diperlakukan benar-benar seperti binatang. Kami harus panggil para petugas sebagai cikgu, kalu tidak habis lah kami dipukuli.”

**

Kebanyakan buruh migran perkebunan sawit di Sabah berasal dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian lagi dari Nusa Tenggara Barat dan propinsi lainnya di Indonesia. Pak XYZ, misalnya, adalah pria berdarah Timor. Dia tidak tahu umurnya secara tepat.Menurut perkiraannya sendiri, usianya saat ini sudah menginjak 50 tahun lebih. Sejak usia 12-13 tahun dia hidup merantau, sebagaimana banyak pemuda tanggung dari kampung asalnya, di Pulau Adonara di Nusa Tenggara Timur. Singkat cerita, nasib mendaratkannya dan banyak pemuda asal Timor lainnya ke perkebunan sawit di Sabah.

Untuk diketahui, Sabah saat ini adalah salah satu negara bagian yang terkaya di Malaysia, berkat keuntungan yang diraup dari industri sawit. Selama berpuluh tahun pula perkebunan sawit di Sabah sangat bergantung pada kehadiran buruh-buruh migran Indonesia. Kebanyakan buruh perkebunan asal Indonesia ini memang menyusup ke Sabah tanpa dokumen resmi yang disyaratkan dan tidak melalui pintu imigrasi resmi, melainkan melalui ratusan pilihan “jalan tikus” atau “jalan samping” yang terdapat di perbatasan Nunukan (Indonesia) dan Sabah (Malaysia).

 

 

Karena migrasi tenaga kerja ini berlangsung sejak lama ini, ada ribuan buruh perkebunan asal atau keturunan Indonesia yang menggantungkan hidup, bahkan berkeluarga dan beranak-pinak, selama puluhan tahun di Sabah. Anak cucu para migran yang lahir dan dibesarkan di perkebunan sawit Sabah, bahkan tak pernah menginjakkan kaki di kampung halaman orangtuanya, entah di Pare-pare atau Adonara sana.

Lama bermukim di Sabah, ketenangan hidup pak XYZ sejak Covid-19 mewabah di Sabah. Untuk mencegah meluasnya pandemi, pemerintah Malaysia memberlakukan Perintah Kawalan Pergerakan (lockdown), yang pembatasan kegiatan produksi di perkebunan sawit, disusul pengusiran terhadap buruh asing yang tidak berdokumen. Setelah ditangkap dan diadili, pak XYZ tertahan dan mengalami perlakuan buruk di TPS, sebelum dideportasi ke Indonesia melalui Nunukan, kemudian Pare-pare, dan Makassar.

Menurut Nurismi Ramadhani dari Solidaritas Perempuan Anging Mamirri, Makassar, organisasi yang melakukan kerja kemanusiaan untuk para deportan, para buruh migran ini tiba di Makassar dalam kondisi sakit, luka dan mengalami depresi. Dalam diskusi online tentang kondisi buruh migran, pada Minggu 2 Agustus 2020, Nurismi menceritakan minimnya fasilitas  penampungan sementara di Makassar.

“Mereka dideportasi lantas ditampung di penampungan berupa kos-kosan yang diisi 10-15 orang,” jelas Nurismi.

Dalam diskusi tersebut, menurut Nurismi, hal ini menunjukan ketidakpedulian pemerintah Indonesia terhadap buruh migran. Pemerintah Indonesia, sebenarnya paham bahwa kekerasan terhadap buruh migran di TPS sudah berlangsung sejak lama, namun mewajarkanya karena menganggap kesalahan ada di pihak buruh migran yang tidak memiliki ijin tinggal dan bekerja di Sabah. Selain mewajarkan tindakan penyiksaan di PTS Sabah, Malaysia, pemerintah Indonesia juga secara serampangan menentukan lokasi tujuan deportasi terhadap para buruh migran ini.

“Ada diantara mereka yang bahkan baru pertamakalinya menginjakan kaki di Indonesia, sebab mereka lahir di Sabah dan sudah tidak mempunyai keluarga di lokasi tujuan (pemulangan),” ungkapnya.

Nurismi juga menyebutkan kesulitan untuk memperoleh layanan kesehatan di lokasi penampungan.

“Puskesmas menolak melayani mereka karena tidak memiliki KTP setempat. Padahal sudah ada yang meninggal karena penyakit gatal-gatal akibat sanitasi yang buruk di penampungan,” pungkas Nurismi.

Industri Sawit Mengambil Untung Dari Buruh Tanpa Dokumen.

Habis pandemi, buruh dibuang. Tampaknya ungkapan itu yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi buruh migran Indonesia di industri sawit Sabah. Migrasi tradisional di Kalimantan, termasuk migrasi suku Bugis ke Sabah, sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun yang lalu. Pasca kemunculan Industri Sawit di Sabah, 1970-1980an, seiring melonjaknya kebutuhan buruh, terjadi migrasi besar-besaran dari daerah Sulawesi dan NTT menuju Sabah. Sebagian besar mereka menetap tanpa ijin tinggal di Sabah hingga tidak lagi memiliki kewarganegaraan (stateless).

Kondisi stateless inilah yang sering sering dimanfaatkan oleh perusahan-perusahaan sawit. Dianggap bermukim di Sabah secara tidak sah, para buruh sawit posisisnya selalu lemah, dan sering diancam akan ditangkap karena tiadanya dokumen. Mengambil untung dari kondisi ini, perusahaan sawit seringkali memberikan upah layak dan memenuhi hak-hak dasar perburuhan.

Menanggapi pernyataan pers KBMB, Adrian Pereira, aktivis HAM dari Malaysia juga menegaskan, industri Sawit telah bergantung lama pada buruh stateless ini. Adrian menambahkan, selama berlangsung Covid-19, media banyak memberitakan tentang deportasi buruh migran dan perlakuan buruk di tempat penahanan. Antara lain pemberitaan dari media Aljazeera. Pemerintah kemudian Malaysia bereaksi dengan menekan media untuk tidak mempublikasi mengenai penyiksaan yang terjadi di PTS.

Adrian Pereira menyerukan pula pentingnya solidaritas antar masyarakat sipil di kedua negara, untuk menghentikan kondisi buruk di perkebunan dan kekerasan di tempat penahanan.

Reporter: Ilyas Gautama

Infografis: Hans Pramono